"SABAR" Tak Sesederhana Itu - Sebuah Refleksi Tentang Kesabaran



Definisi Ke-sabar-an

Kesabaran sering diartikan sebagai kemampuan untuk menahan diri dari reaksi implusif dan emosi negatif dalam menghadapi kesulitan atau tantangan. Tulisan sederhana ini akan sedikit mengupas tentang konsep kesabaran. Dalam agama Islam kesabaran mempunyai berbagai makna yang mendalam, diantaranya :
  • Kesabaran (Sabar) adalah salah satu sifat yang sangat penting dalam agama islam;
  • Maknanya adalah menahan diri dari kesulitan, kesedihan, dan penderitaan dengan penuh kesabaran dan kepercayaan kepada Allah SWT;
  • Dalam Al-Qur'an sungguh telah banyak disebutkan tentang kesabaran, salah satunya adalah QS: Al - Baqarah : 153, يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ ٱسْتَعِينُوا۟ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ   artinya : "Hai orang - orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah bersama orang - orang yang sabar;
  • Dalam Hadist pun banyak disebutkan tentang Kesabaran salah satu nya dalam hadist yang diriwayatkan Muslim yaitu الصَّبْرُ ضِيَاءٌ yang artinya : Sabar adalah Sinar cahaya.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Sabar diartikan : tahan menghadapi cobaan, tidak lekas marah, tidak lekas putus asa, tidak lekas patah hati, tabah, tidak tergesa - gesa, tidak terburu nafsu sehingga sabar merupakan salah satu sifat yang sangat penting dalam kehidupan.

Kata sabar dalam bahasa Indonesia di atas berasal dari bahasa Arab, yaitu "ash-shabru" الصَّبْرُ  yang memiliki makna dasar menahan diri, ketekunan dan ketabahan, dan mempunyai akar kata "shabara" صَّبْرُ   yang berarti menahan atau mengekang.

Dari beberapa definisi dan dua bahasa tersebut di atas, penulis melihat bahwa kata sabar merupakan kata sifat atau bisa menjadi kata benda jika menjadi sebauah kata Kesabaran dan bisa termasuk dalam kata kerja. Artinya, sabar saat menjadi sifat maka melekatlah ia (sabar) dalam diri setiap manusia, itu berarti potensi sabar ada dalam setiap individu dan harus dilatih dengan konsisten, sedangkan saat menjadi kata benda maka ia (sabar) adalah sesuatu yang harus dicapai, diraih, diupayakan untuk mendapatkannya serta saat ia menjadi kata kerja maka ia (sabar) merupakan sebuah perbuatan atau pekerjaan.

Sementara itu, diketahui bahwa sabar sudah dianggap sebagai sebuah virtus, sebuah kebajikan yang di idam - idam kan dan didambakan banyak orang. Dengan kata lain, menjadi orang yang sabar adalah sebuah kebanggaan pada diri sendiri yang akan berdampak positif pada lingkungan sekitar. Akan tetapi, "apakah memang ada orang yang sabar secara mutlak?"

Membongkar Mitos "Sabar Itu Indah"

Kata "sabar" seringkali diucapkan dengan ringan, seolah ia hanyalah sikap pasif menerima takdir, semacam selimut penghibur di kala lara. Kita diajarkan sejak kecil bahwa "sabar itu indah" dan "Tuhan bersama orang-orang yang sabar." Namun, bagi jiwa yang sedang berjuang di tengah badai kehidupan—kehilangan, kegagalan berulang, atau bahkan kesepian yang tak terperi—frasa ini terasa hampa. Sabar sesungguhnya bukanlah keindahan yang instan, melainkan medan perang batin yang paling sunyi dan berat.

Sabar bukanlah sikap berdiam diri, apalagi membiarkan diri terombang-ambing oleh keadaan. Secara etimologis, shabr (صبر) mengandung makna menahan, mengendalikan diri, atau membatasi. Ia adalah benteng internal yang didirikan seseorang untuk menjaga hati, lisan, dan anggota tubuhnya dari reaksi destruktif (keluh-kesah, amarah, atau keputusasaan) saat berhadapan dengan tiga medan ujian utama:

  1. Sabar dalam Ketaatan (Ketaatan): Menahan diri agar tetap konsisten melaksanakan perintah Tuhan, meski terasa berat, melelahkan, atau membosankan.

  2. Sabar dari Kemaksiatan (Penjagaan Diri): Menahan gejolak nafsu dan godaan untuk melakukan larangan, meski hal itu tampak menyenangkan.

  3. Sabar Menghadapi Musibah (Penerimaan): Menahan diri dari ratapan dan keputusasaan ketika ditimpa cobaan, baik berupa kehilangan, rasa sakit, maupun kegagalan.

jadi, Inilah filosofi dasar sabar: ia adalah sebuah kekuatan aktif, bukan kelemahan pasif. Ia adalah seni mengendalikan, bukan seni menyerah. Sabar menuntut energi spiritual yang jauh lebih besar daripada sekadar berkeluh kesah.


Sabar Sebagai Pilar Eksistensi

Dalam perspektif filosofis dan spiritual, sabar adalah pondasi dari segala kebaikan (Fadhilah). Tanpa sabar, keimanan seseorang akan rapuh dihempas ujian, dan ibadahnya akan layu digerogoti kebosanan.

Allah SWT berfirman:

{يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱسْتَعِينُواْ بِٱلصَّبْرِ وَٱلصَّلَوٰةِ إِنَّ ٱللَّهَ مَعَ ٱلصَّٰبِرِينَ}

"Wahai orang-orang yang beriman! Mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan salat. Sungguh, Allah beserta orang-orang yang sabar." (QS. Al-Baqarah: 153)

Ayat ini menempatkan sabar dan salat sebagai dua penolong utama manusia dalam menghadapi hidup. Mengapa keduanya dipasangkan? Karena salat adalah koneksi vertikal, pengisian ulang spiritual, sementara sabar adalah implementasi horizontal, daya tahan di dunia nyata. Seseorang tidak bisa bertahan dalam kesabaran tanpa sokongan spiritual dari salat, dan salatnya akan kehilangan makna jika ia tidak mampu bersabar dalam kesehariannya.

Maka, sabar yang hakiki adalah wujud dari pengakuan filosofis yang mendalam: Aku tidak mampu menanggung ini sendiri, dan hanya kekuatan Yang Maha Kuasa yang bisa membantuku menahan diri. Ia adalah sikap otentik yang lahir dari kesadaran bahwa hidup ini penuh ujian, dan setiap ujian adalah proses pemurnian jiwa. 


Transformasi dan Kehadiran Ilahi

Seringkali, kita melihat sabar sebagai penantian hingga penderitaan berakhir. Namun, pandangan yang lebih mendalam menunjukkan bahwa sabar adalah kemampuan untuk menemukan makna dan ketenangan di tengah penderitaan itu sendiri.

  • Sabar Sebagai Kekuatan Transformasi Diri.

Seorang filsuf Muslim, Imam Al-Ghazali, menjelaskan bahwa sabar adalah keteguhan hati dalam menghadapi sesuatu yang tidak disukai, dengan tetap mengharapkan ridha Allah. Ini menggeser fokus dari "kapan penderitaan ini selesai?" menjadi "apa yang Tuhan ajarkan padaku melalui penderitaan ini?"

Kesabaran menuntut kita untuk menanggalkan ego dan kepongahan diri, memaksa kita melihat bahwa kita bukanlah pengendali mutlak atas semesta. Ia mengasah kejernihan hati yang disebut bashirah, pandangan mata batin. Ketika kita bersabar, kita sedang memilih untuk tidak membiarkan emosi sesaat—kemarahan, kekecewaan, atau rasa iri—menghancurkan nilai-nilai luhur yang kita yakini.

Orang yang bersabar tidak hanya menahan penderitaan, tetapi mengubahnya menjadi pupuk bagi pertumbuhan jiwa. Proses ini tidak mudah, ia penuh air mata, frustrasi, dan terkadang kegagalan. Inilah mengapa sabar itu tak sesederhana yang diucapkan. Ia memerlukan latihan mental yang keras, sebuah Jihad Akbar melawan bisikan keputusasaan.

  • Janji Kebersamaan Ilahi

Puncak dari filosofi sabar adalah janji agung dalam ayat Al-Baqarah: “...sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.”

Kehadiran Tuhan (Ma'iyyah) yang dijanjikan di sini bukanlah kebersamaan biasa yang dimiliki oleh semua makhluk-Nya, melainkan kebersamaan khusus (Ma'iyyah Khassah) yang mengandung pertolongan, dukungan, dan ketenangan.

Ketika seseorang mencapai tingkat sabar sejati, ia menyadari bahwa penderitaan yang ia alami tidak terjadi di ruang hampa. Ada Pengawas, ada Penjaga, ada Kekuatan yang menyaksikan, menolong, dan pada akhirnya, membalas. Rasa kebersamaan inilah yang memberikan ketenangan abadi: tahu bahwa kita sedang berjalan di bawah payung perlindungan dan perhatian Ilahi.

Sabar adalah jembatan menuju syukur. Begitu seseorang berhasil melewati ujian dengan kesabaran, ia akan menyadari hikmah di baliknya, dan dari situ, lahirlah syukur yang mendalam. Ia tidak lagi melihat kesulitan sebagai hukuman, tetapi sebagai tangga menuju derajat yang lebih tinggi, sebagaimana Allah SWT tegaskan:

{أُوْلَٰٓئِكَ يُجۡزَوۡنَ ٱلۡغُرۡفَةَ بِمَا صَبَرُواْ وَيُلَقَّوۡنَ فِيهَا تَحِيَّةً وَسَلَٰمٗا}

“Mereka itu akan dibalas dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya.” (QS. Al-Furqan: 75)


Refleksi "Diri"

Ada sebuah kalimat yaitu "Bercerminlah pada diri sendiri", kalimat itu sering menjadi bahan renungan buat diri pribadi penulis, karena tidak ada gading yang tak retak, artinya setiap diri manusia pasti mempunyai kesalahan dalam menjalani kehidupan. Dalam hal ini penulis mengakui bahwa diri pribadi penulis orang yang belum bisa mencapai sabar. Bahkan penulis sering mengalami kebimbangan dalam memaknai diri dalam hal sabar, sering berpikir bahwa telah melakukan atau mendapatkan dan memperoleh predikat sabar, di satu sisi sabar tidak pernah ada dalam diri saya pribadi karena setiap merasa sabar pasti ada sesuatu yang masih menjanggal, seperti ada penolakan dalam diri karena masih ada terselip kata "tapi", sedangkan menilai sabar harus tanpa adanya kata "tapi" dalam setiap keadaan yang dialami.

Penulis akhiri dengan kalimat "konsekuensi dari sabar adalah bersama Allah" Sederhananya kalimat ini memberikan perenungan mendalam terkait dengan kata "sabar". Jadi, sabar bukanlah kata yang sederhana. Ia adalah filsafat hidup, seni ketahanan jiwa, dan bukti nyata dari keimanan yang matang. Ia adalah tindakan aktif menahan diri demi tujuan yang lebih luhur, dan keyakinan teguh bahwa segala kesulitan adalah skenario terbaik untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Berjuanglah, kendalikan dirimu, dan ingatlah janji itu: Allah sungguh membersamai orang-orang yang memilih untuk bersabar.


----------

eL-HaQ___

Posting Komentar

0 Komentar